Apakah Bunda mengalami rasa yang sama, anak mulai abai dan sibuk sendiri? Atau mungkin ini perasaan saya saja, seorang Bunda yang anak-anaknya beranjak dewasa, satu-satunya yang di rumah tinggal bungsu saja. Itu pun sebentar lagi akan pergi juga menyusul para kakaknya masuk asrama.
Rasa kehilangan tentu saja, apalagi Bunda bak pusat orbit anak-anaknya. Kemanapun perginya, mereka turut serta. Jika tak nampak di rumah, menjadi yang pertama dicarinya. Lalu kini, perhatian mulai terbagi dengan dunia luar yang semakin asyik baginya.
Waktu berputar tanpa jeda dan ia tumbuh dewasa
"Aku duduk dekat Bunda, " seru bungsu setiap kali kita makan di luar rumah. Maka formasi duduk pun segera berubah, siapa saja yang semula dekat Bunda harus bertukar tempat dengannya.
"Aku jalan dekat Bunda, " serunya setiap kita jalan bareng, lalu siapa pun yang jalan di samping Bunda harus mengalah, maka ia akan segera berjalan menjajari Bunda agar bisa bergandengan tangan dengannya.
Hari terus berlalu hingga usia 9 tahunnya berlalu dengan cepat. Sejak saat itu, masa dekat-dekat dengan Bunda berganti dengan teman dan sahabatnya. Mulai malu digandeng saat jalan di luar rumah. Kangen rasanya momen kedekatan seperti dulu lagi. Dan ingin menikmati lebih lama, kebersamaan dengannya.
Perhatian kecil darinya bagai oase pengobat rindu
Anak yang kian sibuk atau Bunda yang melow? Sebenarnya sebagai anak homeschooling, hampir sebagian besar waktunya dihabiskan bersama bundanya. Dulu hampir 24 jam bareng. Sekarang, ia mulai sibuk. Subuh hingga waktu dhuha dihabiskan di asrama tahfidz, sepulangnya baru belajar materi kurikulum nasional. Dhuhur sampai ashar main sama temannya. Kadang lanjut dari Ashar sampai Maghrib.
Tuh kan, gimana nggak merasa tersisih? Yang biasa full bareng Bunda everytime, sekarang sudah terbagi dengan banyak kesibukan. Begini ini kalau anak sudah mulai gede. Kini tinggal menikmati perhatian-perhatian kecil yang membuat hati meleleh bahagia.
"Jika yang besar tak sepenuhnya di dapat, cukupkan pada yang kecil-kecil agar tetap bahagia. "
Pegangan tangan dari sangat penjaga
Pulang perjalan Balikpapan-Samarinda kemarin lusa, kami sengaja naik kendaraan umum. Apalagi sekarang banyak bus yang nyaman dan lewat tol juga, jadi lebih cepat sampai. Entah mengapa hari itu saya ngantuk banget selama dalam perjalanan sampai nggak kerasa tidur di bus. Masih sempat merasakan tanganku ditariknya ke pangkuannya lalu dipegang erat-erat.
Penasaran, tapi mencoba menahan diri untuk tidak bertanya hingga tiba masanya. Saat waktunya pas, pengen tahu dong alasannya.
"Kenapa sih waktu naik bus kemarin tangan Bunda di pengan gitu? " Aku kira seperti biasa, kalau ia ingin tidur, tanganku dipegang dan ditaruh dekat lehernya.
"Aku tuh takut Bunda jatuh, jadi kupengangin tangannya. "
Oh ternyata itu sebabnya. Senang banget, dapat perlakuan seperti ini dan fitrahnya sebagai anak laki-laki yang selayaknya melindungi perempuan sudah teraplikasikan.
Tak mau makan di tempat asyik tanpa Bunda
Sabtu atau ahad saat libur akhir pekan, Abi biasanya mengajak kami jalan-jalan. Berhubung saya sedang tidak ingin keluar rumah, Abi dan anak lelaki jalan sendiri setelah shalat Isya. Sepulang dari jalan, mereka bercerita telah menemukan tempat makan baru yang kelihatannya asyik.
"Kita nemuin tempat nongkrong yang asyik lho Bun, Adek nggak mau makan di situ padahal kelihatannya makannya enak. Katanya sih karena nggak ada Bunda, " tutur Abinya.
Wow rasanya maknyes deh, segitunya dia ya. Meski ditawarkan tempat makan yang enak, karena nggak ada bundanya ia nggak mau juga. Seketika hati bunda berbunga-bunga. Ternyata di balik perhatiannya yang mulai terbagi dengan berbagai kegiatan, dan main bareng teman-temannya, urusan makan saja masih harus bareng bunda.
Penutup
Sebagai seorang ibu, semakin tua ternyata kita semakin butuh perhatian dari anak. Apalagi kelak jika ada sudah pada dewasa, menikah, dan meninggal rumah. Lalu anak-anak mulai sibuk dengan dunianya, keluarga dan anak istrinya. Jangankan kehadiran, sekedar telepon bertanya khabar saja tentu membuatnya bahagia. Sayang, tak sedikit anak yang memperhatikan hal ini. Tak jarang mereka abai dengan alasan kesibukan telah menyita banyak waktu mereka.
Tak banyak yang diharapkan orangtua dari anaknya ketika mereka dewasa. Mungkin hanya perhatian kecil, tapi itu sungguh berharga. Sebagai anak, berusahalah memberi perhatian pada orangtua, agar anak- anak meneladaninya.
Posting Komentar
Posting Komentar