Bunda ingat nggak, sejak usia berapa tahun anak-anak mulai dilanda virus merah jambu? Itu tuh rasa suka atau cinta pada lawan jenis. Variatif ya, nggak sama untuk tiap anak mah, ada yang ketika usia 5 tahun, masuk kindergarden, elementary school atau tingkat di atasnya lagi.
Apa yang Bunda rasakan saat anak bilang:
"Bunda, aku suka sama itu? "
Berjuta rasanya ya, kaget, panik, sedih atau patah hati? Ah rasanya pengen bilang gini deh:
"Hei kalian masih kecil sayang nggak usah mikirin cinta-cintaan dulu Nak. "
"Bunda, temani aku belanja baju dong, " seru salah satu anak lelakiku.
"Yang keren ya Bun. "Jatuh Cinta pada anak usia dini, wajarkah?
"Bunda, temani aku belanja baju dong, " seru salah satu anak lelakiku.
"Emang mau kemana pakai baju keren segala, liburan gini? "
"Mau reuni Bun. "
Reuni? Lha pengumuman lulus sekolah aja baru sepekan berlalu, belum juga dapat sekolah baru, sudah mau reuni. Apa-apaan nih.
"Reuninya di rumah temanku ini Bun. Haruslah kelihatan keren. "
Disebutnya nama anak gadis yang sejak beberapa bulan terakhir ini jadi topik pembicaraan si mas di akhir masa sekolah dasarnya.
Sejak hari itu, kami terlibat obrolan tentang gadis ini. Apa yang menarik darinya hingga jatuh rasa suka dan gimana perasaan gadis itu padanya. Lalu kami bahas definisi pacaran hingga mereview kembali value keluarga tentang hubungan lawan jenis.
Beberapa bulan berselang, mas masuk SMP, kisah merah jambu masa akhir sekolah dasar pun usai dan berganti cerita. Kalau waktu SD hanya sekedar naksir, kini mulai berani pacaran ala-ala anak sekolah. Saling follow media sosial dan ubar kata rayuan romantis di status masing-masing. Duh...duh...duh. Emaknya kebat-kebit. Tarik nafas, tahan! Woooi sampai kapan nih… !
Tenang, aku mencoba menenangkan perasaan bahwa ini tak akan bertahan lama. Setelah ngobrol dengan Abinya anak-anak, aku ngobrol bareng anak. Kami diskusi tentang pacaran baik buruknya, termasuk postingan ungkapan-ungkapan kasih sayang di media sosial. "Usah kau tinggalkan jejakmu… ". Upss jangan baca sambil nyanyi oie.
" Gini Mas, kalau ntar putus, trus statusnya sudah terlanjur dibaca banyak orang, malu nggak? "
"Malu Bun. "
"Nah, itulah medsos, kita bisa menghapusnya, namun jejak digital tak bakal kehapus. "
Sadar ia, dan hingga hari ini satu-satunya hal yang disesalinya adalah pernah alay dan bermerah-merah jambu di zaman SMP.
"Bun, aku dulu tuh alay banget ya. Dan andai ada mesin waktu yang bisa balik ke masa lalu, aku ingin menghapus kealayanku itu. Ternyata jatuh cinta itu wajar ya Bun, yang nggak wajar jika sampai alay kayak aku dulu. "
Wajar anak dilanda virus merah jambu, mulai mengenal rasa suka, tertarik dan akhirnya jatuh cinta. Itu fitrah bukan? Fitrah itu tak bisa kita rubah, tapi cara kita menghadapi anak yang jatuh cinta pada saat yang belum tepat itulah yang bisa kita rekayasa.
Trus gimana sih menghadapi anak-anak yang mulai suka-sukaan ini. Membiarkan mereka pacaran, oh no! Value keluarga kami tidak ada pacaran sebelum menikah. Dan anak-anak tahu itu. Sejak mereka kecil kami sering ngobrol bareng. Topik yang paling menarik dari semua topik obrolan kami adalah bagaimana kami bertemu lalu menikah.
Mereka tahu, bahwa orang tuanya menikah tanpa pacaran. Ya kami menikah hanya bermodal selembar biodata, lalu bertemu untuk diskusi berbagai hal dengan ditemani perantara. Saat saling bisa menerima, lanjut nikah. Gitu aja.
Anak-anak juga paham, meski Abi-Bundanya nggak pacaran, rukun-rukun aja kok selama menjalani rumah tangga. (Nggak tahu mereka tuh, aslinya juga ada berantem-berantemnya juga, tapi di belakang mereka).
Jadi selain mengenalkan mereka pada nilai-nilai agama yang kami yakini termasuk sudut pandang agama terhadap pacaran, mereka juga melihat teladan dari orangtuanya. Tidak melulu tentang nasehat, dan halal haram, tapi menumbuhkan kesadaran bahwa jatuh cinta meski wajar ada hal-hal yang dilarang dalam agama, yakni mendekati zina.
Tetap tenang, No panik! Duh kok anakku sudah cinta-cintaan sih… mereka masih kecil. Apaan pacaran segala, woi cinta tak selamanya indah. Wajar jika kita bersenandika seperti ini. Dan wajar juga anak-anak suka dengan lawan jenis. It's great! Sebab, rasa suka dan mencintai itu fitrah.
Ada mantra dari Ibu Profesional yang aku ingat banget, untuk membangun kedekatan dengan anak ada 3 mantra ajaib.
Main bareng
Ngobrol bareng dan
Beraktivitas bareng.
Dan satu lagi, Kata-kata dari putra founder Ibu profesional, Mas Elan.
"Ibu-ibu, harus banyak ngobrol dengan anak, bukan ngobrolin anak".
Hayooo mana yang sering ibu-ibu lakukan?
Ngobrol dengan anak, artinya kita banyakin waktu ngobrol, cerita, dan diskusi dengan anak. Ngobrolin anak, artinya kita ngobrol dengan siapa saja dengan topik anak-anak kita.
Upss, aku ketampol nih, baru saja di hari ini seharian ketemu teman lama dan tentu saja obrolan paling seru dan paling lama ya tentang anak. Harus dibayar utang ngobrol dengan anak malam ini nih.
Nah, sering-seringlah main bareng, berkegiatan bareng dan ngobrol bareng agar kedekatan anak dengan orangtuanya terbangun. Mainkan peran yang anak-anak harapkan tanpa mengurangi peran sebagai orangtua.
Tekan tombol pause, dan lakukan kontemplasi. Bagaimana kita selama ini menemani mereka? Apakah telah terbangun kedekatan sejak dini? Tapi kan, biasanya anak semakin besar semakin tertutup Bun?
Itulah… . Makanya perlu kontemplasi, jika kita tak membangun kedekatan dengan anak, ya lama-lama anak nggak suka cerita dengan kita. Ingat nggak saat anak mulai bisa ngomong, dia akan ngomong apa saja, bertanya apa saja pada ibunya. Lalu ingat nggak gimana tanggapan kita? Membuka ruang diskusi atau malah abai. Ah kamu tuh tanya -tanya melulu. Atau aih, nggak penting banget sih Nak, gitu aja kamu ceritain. Berapa kali sih kamu cerita hal yang sama?
Apakah pernah seperti ini tanggapannya?
"Apaaaa? Kamu jatuh cinta, pacaran? Kamu tuh belum cukup umur, nggak boleh. Pokoknya jangan pacaran, sekolah yang bener titik!"
"Reuninya di rumah temanku ini Bun. Haruslah kelihatan keren. "
Disebutnya nama anak gadis yang sejak beberapa bulan terakhir ini jadi topik pembicaraan si mas di akhir masa sekolah dasarnya.
Sejak hari itu, kami terlibat obrolan tentang gadis ini. Apa yang menarik darinya hingga jatuh rasa suka dan gimana perasaan gadis itu padanya. Lalu kami bahas definisi pacaran hingga mereview kembali value keluarga tentang hubungan lawan jenis.
Beberapa bulan berselang, mas masuk SMP, kisah merah jambu masa akhir sekolah dasar pun usai dan berganti cerita. Kalau waktu SD hanya sekedar naksir, kini mulai berani pacaran ala-ala anak sekolah. Saling follow media sosial dan ubar kata rayuan romantis di status masing-masing. Duh...duh...duh. Emaknya kebat-kebit. Tarik nafas, tahan! Woooi sampai kapan nih… !
Tenang, aku mencoba menenangkan perasaan bahwa ini tak akan bertahan lama. Setelah ngobrol dengan Abinya anak-anak, aku ngobrol bareng anak. Kami diskusi tentang pacaran baik buruknya, termasuk postingan ungkapan-ungkapan kasih sayang di media sosial. "Usah kau tinggalkan jejakmu… ". Upss jangan baca sambil nyanyi oie.
" Gini Mas, kalau ntar putus, trus statusnya sudah terlanjur dibaca banyak orang, malu nggak? "
"Malu Bun. "
"Nah, itulah medsos, kita bisa menghapusnya, namun jejak digital tak bakal kehapus. "
Sadar ia, dan hingga hari ini satu-satunya hal yang disesalinya adalah pernah alay dan bermerah-merah jambu di zaman SMP.
"Bun, aku dulu tuh alay banget ya. Dan andai ada mesin waktu yang bisa balik ke masa lalu, aku ingin menghapus kealayanku itu. Ternyata jatuh cinta itu wajar ya Bun, yang nggak wajar jika sampai alay kayak aku dulu. "
Wajar anak dilanda virus merah jambu, mulai mengenal rasa suka, tertarik dan akhirnya jatuh cinta. Itu fitrah bukan? Fitrah itu tak bisa kita rubah, tapi cara kita menghadapi anak yang jatuh cinta pada saat yang belum tepat itulah yang bisa kita rekayasa.
Ketika anak dilanda virus merah jambu
Trus gimana sih menghadapi anak-anak yang mulai suka-sukaan ini. Membiarkan mereka pacaran, oh no! Value keluarga kami tidak ada pacaran sebelum menikah. Dan anak-anak tahu itu. Sejak mereka kecil kami sering ngobrol bareng. Topik yang paling menarik dari semua topik obrolan kami adalah bagaimana kami bertemu lalu menikah.
Mereka tahu, bahwa orang tuanya menikah tanpa pacaran. Ya kami menikah hanya bermodal selembar biodata, lalu bertemu untuk diskusi berbagai hal dengan ditemani perantara. Saat saling bisa menerima, lanjut nikah. Gitu aja.
Anak-anak juga paham, meski Abi-Bundanya nggak pacaran, rukun-rukun aja kok selama menjalani rumah tangga. (Nggak tahu mereka tuh, aslinya juga ada berantem-berantemnya juga, tapi di belakang mereka).
Jadi selain mengenalkan mereka pada nilai-nilai agama yang kami yakini termasuk sudut pandang agama terhadap pacaran, mereka juga melihat teladan dari orangtuanya. Tidak melulu tentang nasehat, dan halal haram, tapi menumbuhkan kesadaran bahwa jatuh cinta meski wajar ada hal-hal yang dilarang dalam agama, yakni mendekati zina.
Menghadapi anak yang sudah jatuh cinta dan akhirnya pacaran gimana?
Tetap tenang, No panik! Duh kok anakku sudah cinta-cintaan sih… mereka masih kecil. Apaan pacaran segala, woi cinta tak selamanya indah. Wajar jika kita bersenandika seperti ini. Dan wajar juga anak-anak suka dengan lawan jenis. It's great! Sebab, rasa suka dan mencintai itu fitrah.
Bangun kedekatan dan ngobrollah lebih sering
Ada mantra dari Ibu Profesional yang aku ingat banget, untuk membangun kedekatan dengan anak ada 3 mantra ajaib.
Main bareng
Ngobrol bareng dan
Beraktivitas bareng.
Dan satu lagi, Kata-kata dari putra founder Ibu profesional, Mas Elan.
"Ibu-ibu, harus banyak ngobrol dengan anak, bukan ngobrolin anak".
Hayooo mana yang sering ibu-ibu lakukan?
Ngobrol dengan anak, artinya kita banyakin waktu ngobrol, cerita, dan diskusi dengan anak. Ngobrolin anak, artinya kita ngobrol dengan siapa saja dengan topik anak-anak kita.
Upss, aku ketampol nih, baru saja di hari ini seharian ketemu teman lama dan tentu saja obrolan paling seru dan paling lama ya tentang anak. Harus dibayar utang ngobrol dengan anak malam ini nih.
Nah, sering-seringlah main bareng, berkegiatan bareng dan ngobrol bareng agar kedekatan anak dengan orangtuanya terbangun. Mainkan peran yang anak-anak harapkan tanpa mengurangi peran sebagai orangtua.
Bagaimana kalau anak tidak mau cerita?
Tekan tombol pause, dan lakukan kontemplasi. Bagaimana kita selama ini menemani mereka? Apakah telah terbangun kedekatan sejak dini? Tapi kan, biasanya anak semakin besar semakin tertutup Bun?
Itulah… . Makanya perlu kontemplasi, jika kita tak membangun kedekatan dengan anak, ya lama-lama anak nggak suka cerita dengan kita. Ingat nggak saat anak mulai bisa ngomong, dia akan ngomong apa saja, bertanya apa saja pada ibunya. Lalu ingat nggak gimana tanggapan kita? Membuka ruang diskusi atau malah abai. Ah kamu tuh tanya -tanya melulu. Atau aih, nggak penting banget sih Nak, gitu aja kamu ceritain. Berapa kali sih kamu cerita hal yang sama?
Apakah pernah seperti ini tanggapannya?
Apresiasi saat mereka cerita
"Apaaaa? Kamu jatuh cinta, pacaran? Kamu tuh belum cukup umur, nggak boleh. Pokoknya jangan pacaran, sekolah yang bener titik!"
Kalau itu reaksi kita saat anak cerita, terbayang apa yang akan terjadi. Anak-anak nggak bakalan mau cerita dan akhirnya memilih jalan belakang. Zaman kita dulu namanya backstreet karena kalau ketahuan bisa "dirujak" sama ortu.
Keberanian anak untuk bercerita pada hal sensitif itu dan keterbukaannya mengungkapkan perasaan ini point besar yang patut kita apresiasi. Beri ungkapan yang menguatkan meski bukan untuk mendukung mereka pacaran.
Keberanian anak untuk bercerita pada hal sensitif itu dan keterbukaannya mengungkapkan perasaan ini point besar yang patut kita apresiasi. Beri ungkapan yang menguatkan meski bukan untuk mendukung mereka pacaran.
Misal, "Wah sudah gede aja nih anak Bunda nggak kerasa Bunda sudah punya saingan. Makasih ya sudah mau cerita ke Bunda, jadi bukan saingan lagi deh. "
Lanjut diskusikan dibalik fitrah rasa suka itu apa batasannya sesuai value keluarga.
Dengan kedekatan yang lekat antara orangtua dan anak maka akan terbangun rasa aman dan nyaman sehingga anak-anak merasakan kita adalah orang yang tepat untuk berbagi cerita. Bahkan andai ia hanya ingin Bundanya saja yang tahu, janganlah privasinya.
Rasa aman dan nyaman bagi anak, bisa tercipta jika kita menjauhi asumsi dan tidak menghakimi. Tuntun anak untuk menemukan sendiri apa yang seharusnya ia lakukan dan apa yang tidak seharusnya ia lakukan. Biarkan ia menimbang apa manfaat suatu tindakan dan apa kerugiannya.
Pada akhirnya, anak juga akan tumbuh dan berkembang lalu bersiap menjadi orangtua juga.
Dan saat anak dilanda virus merah jambu, itu saatnya kita menyadari bahwa fitrahnya telah tumbuh. Fitrah berkasih sayang juga fitrah seksualitas. Rasa kasih sayang akan membuat kita saling menjaga. Tidak menyakiti dan membuat salah satu pihak rugi.
Lanjut diskusikan dibalik fitrah rasa suka itu apa batasannya sesuai value keluarga.
Bangun rasa aman dan nyaman
Dengan kedekatan yang lekat antara orangtua dan anak maka akan terbangun rasa aman dan nyaman sehingga anak-anak merasakan kita adalah orang yang tepat untuk berbagi cerita. Bahkan andai ia hanya ingin Bundanya saja yang tahu, janganlah privasinya.
Rasa aman dan nyaman bagi anak, bisa tercipta jika kita menjauhi asumsi dan tidak menghakimi. Tuntun anak untuk menemukan sendiri apa yang seharusnya ia lakukan dan apa yang tidak seharusnya ia lakukan. Biarkan ia menimbang apa manfaat suatu tindakan dan apa kerugiannya.
Pada akhirnya: jatuh cinta sih boleh pacaran, nanti dulu.
Pada akhirnya, anak juga akan tumbuh dan berkembang lalu bersiap menjadi orangtua juga.
Dan saat anak dilanda virus merah jambu, itu saatnya kita menyadari bahwa fitrahnya telah tumbuh. Fitrah berkasih sayang juga fitrah seksualitas. Rasa kasih sayang akan membuat kita saling menjaga. Tidak menyakiti dan membuat salah satu pihak rugi.
Ketertarikan pada lawan jenis adalah kesadaran dari fitrah seksualitas, bahwa mereka diciptakan untuk berpasangan-pasangan. Maka, jatuh cinta boleh-boleh saja. Untuk pacaran tunggulah usai ijab qobul dilantunkan.
wah aku baru tau istilahnya itu virus merah jambu, terimakasih sudah berbagi yaa
BalasHapusIya, zaman kuliah dulu kalau ada yang jatuh cinta istilahnya virus merah jambu. Sama-sama. Terima kasih juga sudah berkunjung.
Hapus