Layaknya apa yang kita terima di masa lalu, pendidikan sebagaimana yang khalayak dapatkan adalah sekolah. Dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Maka berbekal itu, saat menjadi orangtua, rancangan pendidikan untuk anak-anak seputar sekolah dasar, menengah dan sekolah tinggi dimana anak-anak kelak.
Dengan latar belakang pendidikan yang saya dan suami dapatkan, juga adik-adik dan bahkan ayah mertua juga eyang. Menempuh pendidikan di sekolah favorit, lalu kuliah di perguruan tinggi negeri dan berkarir dengan lancar. Tak pernah terlintas ketika anak tidak mau sekolah sejak dini. Tak terbayangkan saat anak mogok sekolah dari sekolah favorit pilihan kami.
Sempat terpikir " Duh apa kata dunia eh apa kata keluarga besar kalau tahu anak-anak nggak mau sekolah. " Sulung nggak mau kuliah di PTN meski punya kemampuan untuk itu. Sejak SD hingga SMA nilai-nilai cukup baik. Lalu adiknya hanya satu semester di SMK negeri. Dan bungsu tidak mau sekolah sama sekali.
Lalu tersadarkan inilah yang harus kami hadapi. Pilihannya adalah, keluarga sendiri yang bertanggung jawab penuh atas beban pendidikan anak-anak. Maka pondasi yang harus dikuatkan adalah pendidikan keluarga ala kami. Sisi-sisi yang menjadi tujuan pendidikan versi keluarga kami kuatkan di rumah. Kami hanya perlu merubah sedikit rencana toh visi misinya tetap sama.
Membersamai anak memilih jalur pendidikannya
Sejatinya pendidikan anak itu adalah pilihan yang dilakukan oleh pelaku, ya si anak sendiri. Orangtua hanya fasilitator, maka ketika mereka telah memilih, sang fasilitator hanya menemani. Kemudian kami belajar dari orangtua lain yang fokus dengan pilihan merdeka belajar. Belajar dari para orang tua homeschooling dan fokus dengan tujuan pendidikan keluarga sendiri. Belajar dari anak-anak yang memilih belajar sesuai keunikan diri mereka.
Tidak sekolah sebagaimana layaknya sistem pendidikan di negeri ini, bukan berarti tidak belajar. Karena belajar itu bisa dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja. Yang harus selalu dibangun adalah menghidupkan semangat belajar sepanjang usia.
Akhirnya kami memilih berbagai versi pendidikan untuk anak-anak. Ada yang belajar di lembaga formal, non formal dan homeschooling. Sulung meski tidak kuliah di PTN, tetap kuliah sambil bekerja. Sulung ini satu-satunya anak yang belajar di lembaga pendidikan formal pada semua jenjang.
Selanjutnya, anak kedua tiba-tiba ingin menghafal Al Qur'an. Di semester kedua ia resmi keluar dari SMKnya dan masuk lembaga pendidikan Qur'an yang ada jalur mu adalah atau ujian persamaan untuk mendapat ijasah. Lalu adik-adiknya mengikuti jejak kakak keduanya ini. Sementara bungsu tetap melanjutkan homeschooling.
Ketika galau dan baper melanda
Saat anak-anak memilih jalur pendidikan yang tak biasa, sebagai orangtua harus menerima dan siap lahir dan batin. Nggak segampang itu juga sih. Terlebih mindset yang kadung melekat di kepala berpuluh tahun lamanya. Kadang juga masih galau dan baper. Kalau menghadapi pertanyaan mengapa anak nggak sekolah sih sudah biasa. Yang berat ketika lintasan hati berkelindan, kelak bagaimana mereka mencari rezeki. Ah… ternyata masih seputar itu.
Pernah juga baper, pas musim pengumuman penerimaan maba perguruan tinggi negeri, pernah juga ada getar hati saat melihat para orang tua mengantar anak-anaknya ke PTN yang diidamkan. Bukan iri, bahkan ikut bahagia rasanya melihat semua itu. Rasa yang dulu pernah ada saat mengalami hal yang sama di waktu muda. Terkadang pengen mengulang untuk anak-anak.
Kalau sudah begini, langsung kami kembalikan pada tujuan pendidikan keluarga kami. Sebenarnya kerangka besar pendidikan keluarga ini apa. Dan ternyata yang mendasar bukan anak sekolah dimana, jadi apa kelak tapi bagaimana mereka menjalani kehidupan baik di dunia dan kelak saat harus menghadapNya. Bahkan andai kami tak bisa membersamai mereka lagi.
Aqidahnya lurus
Belajar dari Luqman ketika mendidik anak-anaknya. Kekhawatiran terbesar saat anak-anak telah jauh dari kita adalah untuk apa mereka hidup? Maka yang harus dipastikan adalah aqidah mereka agar tetap berada di jalan yang lurus.
Harapan terbesar adalah mereka hidup dengan ketundukan hanya kepada Allah sebagaimana yang dipesankan Luqman kepada keturunannya dalam Qur'an Surah Luqman : 13
"Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Mampu hidup mandiri
Salah satu tujuan pendidikan adalah menyiapkan generasi penerus yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Sebagaimana dalam. Qur'an surah An-Nisa' Ayat 9:
"Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. "
Tak ada jaminan kita bisa membersamai anak hingga mereka dewasa. Maka saat anak-anak memasuki fase akil baligh, sudah dikendalikan kemandirian finansial. Nggak harus 100% lepas dari orangtua secara finansial, tapi mereka tahu harus bagaimana untuk menafkahi diri sendiri.
Setidaknya bisa melanjutkan hidup dengan mandiri, mereka tahu cara bertahan hidup dalam kebaikan. Mereka mampu hidup dengan usahanya sendiri sedini mungkin. Bahkan kami pernah merancang kapan anak-anak bisa mandiri. Maksimal selepas SMA, mereka sudah mampu membiayai diri mereka sendiri.
Meski tak sama persis dengan rancangan kami, anak-anak sejak kesetaraan sudah membebaskan kami dari biaya sekolah. Mereka mendapat beasiswa sampai selesai dan melanjutkan pendidikan ke luar negeri dengan beasiswa pula.
Kini pilihan sekolah atau belajar menjadi tak penting lagi asal semua bermuara pada kedua tujuan tersebut. Memilih jalur pendidikan yang tak biasa bisa jadi sesuatu yang luar biasa.
Akhirnya kami meyakini
Keyakinan kami semakin kuat, bahwa setiap anak itu unik. Kecerdasan tidak hanya diukur dengan suksesnya ia masuk PTN atau diterima di sekolah yang ada di peringkat terbaik berdasarkan UTBK seperti yang akhir-akhir ini terekspos di media sosial. Agak aneh sih, di satu sisi pemerintah sedang menguatkan kurikulum merdeka belajar yang adaptif dengan keunikan anak, eh ada peringkat-peringkat seperti ini yang ukurannya hanya satu sisi, kemampuan kognitif bahkan di era kolaborasi dan critical thinking menjadi bekal anak menghadapi zamannya.
Kata Eyang Einstein:
Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid.Semua orang itu jenius. Tetapi jika Anda menilai ikan dengan kemampuannya untuk memanjat pohon, percayalah itu adalah bodoh (A. Einstein).
Dengan kacamata kuda, kami fokus menjadi terbaik versi keluarga kami hingga akhirnya,
saat usia belum 19 tahun, anak-anak sudah melangkah jauh menjadi warga dunia, dengan beasiswa pula. Anak-anak telah memilih jalur pendidikannya, apapun itu tak perlu ada rasa khawatir apa kau galau, siapkan versi terbaiknya dan mereka akan siap menjemput takdirNya.
Posting Komentar
Posting Komentar