Travel School ke Sekolah Ladang di Tawau Malaysia Timur
Sebelum pandemi kami tinggal di Nunukan Kalimantan Utara. Sebenarnya sudah lama pengen nyebrang dikit lagi sampai Tawau, tapi menunggu anak-anak ngumpul pas liburan. Nggak disangka dapat tawaran ikut bareng ke Tawau dengan rombongan Kemenkeu Mengajar, yo wes gasken. Bareng si homeschooler, ini bakal jadi travel school pertama ke luar negeri. Meski jiran deket-deket aja.
Kemenkeu mengajar sendiri adalah program tahunan tanpa menggunakan anggaran negara. Jadi sukarela para pegawai di Kemenkeu yang ingin berbagi dan mengenalkan program mereka ke sekolah-sekolah. Asli dari kantong sendiri, jadi nebeng barengan mereka nggak merasa bersalah dong, toh kita juga pakai biaya sendiri. Ikutan belanja pengalaman terutama buat si homeschooler.
Suasana sekolah ladang di Tawau
Senin pagi itu, upacara bendera sebagaimana sekolah-sekolah di Indonesia pada umumnya. Bendera merah putih hanya dibentangkan dengan tangan oleh dua siswa berseragam putih merah. Lalu perlahan dengan sangat hikmat lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan. Tiba-tiba rasa haru tak dapat ditepis. Tak sadar air mata turun tanpa bisa dibendung. Beda ya dengerin lagu Indonesia Raya di dalam negeri dengan di luar negeri.
Bayangkan, bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya dibawakan oleh anak-anak yang sebagian besar belum pernah menginjakkan kakinya di tanah leluhurnya, Indonesia. Bagaimana perasaanmu, ketika melihat anak-anak berseragam putih merah begitu bersemangat belajar meski dengan fasilitas seadanya di sebuah ladang sawit bukan di negeri mereka berasal?
Aku pernah mendengarnya dulu. Dari obrolan di sebuah milis pendidikan. Tentang khabar ribuan anak-anak tenaga kerja Indonesia yang tak bisa mengenyam pendidikan yang layak di negara tetangga. Dulu hatiku pun tersentuh, berniat jadi relawan. Namun melihat Ibuku yang rapuh semenjak kepergian Bapak, mengurungkan niatku itu.
Dan kini, aku menyaksikan sendiri bareng anak bungsuku.
Kenangan sehari bareng anak-anak sekolah ladang Sungai Balung
Hujan semenjak subuh membuat kesepakatan kami pada malam sebelumnya untuk kumpul di lobi dan berangkat ke CLC ( community learning center) sebuah lembaga yang menyelenggarakan pendidikan untuk anak- anak tenaga kerja Indonesia di Malaysia yang mayoritas bekerja di sektor informal sehingga tak akan sanggup menyekolahkan anaknya di sekolah Internasional yang tentu mahal bayarannya, sebelum pukul 07.00 akhirnya tertunda. Sambil menunggu hujan reda dan mobil jemputan yang tak kunjung tiba, kami mempersiapkan perangkat mengajar.
Iya, salah satu agenda travel school kami adalah berpartisipasi dalam Kemenkeu Mengajar dan pagi ini kami akan mengajar di dua CLC, yaitu CLC Al. Alaq yang terletak pada sebuah ruko di Lor Bandar Sei Indah, sekitar 16 kilometer dari tempat kami menginap dan CLC Sungai Balung yang ada di perkebunan sawit, kira-kira 34 kilometer dari Bandar Tawau ke arah Bandar Semporna Negeri Sabah Malaysia Timur. Sehari sebelumnya kami bersilaturahmi dan beraudiensi dengan Bapak Konsul Jenderal RI, Sulistiya Djati Ismoyo dan atase bidang pendidikan yang mengarahkan kami pada dua CLC tersebut.
Setelah hujan sedikit reda dan jemputan kami datang serta menjelaskan alasan keterlambatan disebabkan banjir di lintasan jalur ke arah CLC tersebut. Namun banjir parit yang meluap, tidak lama pun surut. Rintik hujan yang masih enggan pergi dan tanah lapang yang basah membuat rencana upacara bendera yang semula direncanakan di luar ruangan kami sepakat untuk dibatalkan dan diganti dengan pengibaran bendera serta menyanyikan lagu Indonesia Raya didalam ruangan.
Aku dan bungsuku ikut rombongan CLC Sungai Balung, yang bagiku lebih menantang. Sebuah bangunan sederhana di tengah-tengah kebun sawit milik perusahaan Malaysia dengan tiga ruangan, satu ruangan untuk TK , satu ruangan untuk SD dan satu ruangan untuk kantor. Ada 200 an yang belajar di bagunan itu. Karena terbatasnya ruang belajar, untuk anak-anak SD dibagi menjadi dua sesi. Pagi dari pukul 07.00 sampai 12.00 untuk kelas 1,2 dan 3. Sementara siang dari pukul. 13.00 sampai 16.00 untuk kelas 4,5 dan 6.
Ada seorang relawan yang ditugaskan Kemendiknas dengan sistem kontrak selama setahun yang menjadi guru utama di sekolah ladang ini. Sementara itu dibantu oleh dua orang relawan yang merupakan keluarga TKI yang sudah bertahun tinggal di ladang tersebut dan seorang relawan yang warga asli Malaysia.
Aku melihat ketulusan dari Ibu yang warga Malaysia ini untuk peduli dan membantu mendidik anak-anak Indonesia di negerinya. Kami banyak bercerita tentang kecintaannya pada anak-anak TKI yang butuh pendidikan ini. Dari Ibu inilah asal mulai sekolah ladang ini menjadi CLC.
Dulu Ibu ini yang merintis pengajaran di ladang sawit Sungai Balung. Lalu semakin hari semakin banyak anak-anak yang ingin belajar hingga perusahaan sawit ini menyediakan ruangan untuk belajar. Setelah semakin banyak, pemerintah Indonesia melalui atase pendidikan memberikan perhatian dan ikut mengelola sehingga menjadi CLC seperti sekarang ini.
Tak terasa waktu berlalu, enggan rasanya meninggalkan tempat ini. Anak-anak pun masih ingin berlama-lama dengan kami, sekedar ngobrol tentang negeri nenek moyang mereka. Saat ditanya, apakah mereka ingin pulang ke Indonesia : "Kami cinta Indonesia, kami ingin kembali ke Indonesia", seru mereka penuh semangat. Ah mata kami berembun lagi. Betapa banyak saudara -saudara kita yang mesti jauh dari keluarga demi kehidupan.
Ternyata banyak anak-anak yang semestinya mendapatkan pendidikan yang layak, harus rela menerima keadaan. Dada kami dipenuhi keharuan atas cinta kasih dari saudara - saudara kita di negeri tetangga ini yang peduli. Memberi kasih sayang yang tulus untuk mendidik anak-anak bangsa Indonesia yang terpaksa jauh dari negeri tempat seharusnya dia berada.
Selamat tinggal, salam perpisahan ini semoga bukan akhir segalanya. Dan cinta kasih kita akan tetap terukir indah di ruang hati. Kita adalah saudara meski terpisah di dua negara.
Belanja pengalaman dengan travel school ke Malaysia Timur
Setelah perjalanan selama empat hari ke Tawau kami melakukan refleksi, salah satunya pengalaman apa sih yang F dapatkan?
Melakukan perjalanan ke luar negeri
Meski hanya selemparan jarak Nunukan - Tawau, dan tak membutuhkan visa, F mendapatkan pengalaman sejak masuk pelabuhan. Bahwa mengunjungi negara lain itu ada aturannya seperti berbagai pemeriksaan yang harus kami hadapi dan harus menunjukkan dokumen berupa paspor. Bagi warga asli Nunukan memang tidak menggunakan paspor, hanya surat izin atau biasa disebut paspor merah. Sementara kami yang bukan warga asli Nunukan, harus menggunakan paspor hijau.
Mengenal perwakilan negara
Merajut semangat belajar
Melihat anak-anak sekolah ladang yang semangat belajar meski fasilitas sederhana banget. Hanya bangunan di tengah ladang dengan tiga ruangan saja. Membuat anak-anak ini harus bergiliran masuk kelas. Namun, keterbatasan ini tak membuat mereka menyerah.
Penutup
Saat menghadapi anak yang sedang malas belajar, kadang dibutuhkan strategi yang pas. Diomeli dan diingatkan untuk belajar malah tidak mempan. Terlebih tipe F tidak mau dipaksa, maunya dengan keinginan sendiri. Mengajaknya mengenang travel school ke sekolah ladang di Malaysia Timur dengan harapan membuka kesadaran bahwa belajar sebuah proses yang harus dilaluinya. Syukur ujungnya ia tergerak untuk belajar, pelajaran yang diujikan pada ulangan semester besok.
Posting Komentar
Posting Komentar