Suatu ketika, di sebuah ruang diskusi dengan bahasan mengizinkan atau memberi ruang anak-anak nge-game online menjadi ramai lagi setelah adanya peristiwa meninggalnya seorang ustadz pada sebuah boarding school di kota kami. Subuh usai sholat di masjid tiba-tiba sang ustad dipukul dari belakang hingga terjatuh. Beliau meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Mirisnya, setelah ditelusuri tak lama ditemukan pelaku penganiayaan ustad tersebut yang tak lain adalah muridnya sendiri kemarin pagi. Dua murid yang nekat melakukan penganiayaan itu merasa kesal pada sangat ustad karena telah menyita telepon genggam salah satu pelaku.
Kisahnya, si A meminjam telepon genggam milik si B, begitu selesai hape tersebut diletakkan di meja kamar mereka. Malangnya, hari itu ada pemeriksaan kamar, dan ustad menemukan hape tersebut lalu dibawanya. Peraturan asrama memang melarang anak-anak membawa hape. Dan ini wajar, di pondok pesantren lain pun, peraturan tidak diperkenankan membawa gadget juga ada pastinya.
Si B merasa kesal karena hapenya disita, sementara si A merasa bersalah lalu berusaha meminta hape tersebut pada sangat ustad. Namun sayangnya, permintaan tersebut tidak dikabulkan. Singkat cerita, terjadilah penganiayaan yang awalnya hanya untuk menggertak agar ustad mau menyerahkan hape tersebut, sayangnya berakibat fatal. Sang ustad meninggal dunia setelah dilarikan ke rumah sakit.
Ketika peristiwa ini mendapatkan sorotan media, maka ramailah diskusi seputar penggunaan gadget pada anak-anak. Dari yang menyalahkan anak, menyalahkan orangtua yang memberikan kebebasan anak menggunakan gadget, sampai efek kecanduan hape untuk bermain game dan youtube sampai aplikasi video singkat lainnya.
Anak-anak ber-gadget, perlukah?
Gadget dalam hal ini handphone bukan barang asing dalam kehidupan kita. Terlebih ketika pandemi melanda dan anak-anak harus belajar secara daring. Perlu atau tidaknya ya tergantung situasi dan kondisi anak. Saat harus belajar online otomatis gadget perlu banget buat kelancaran proses belajar mengajar.
Berbeda dengan ketika kita memilih asrama atau pesantren sebagai teman belajar anak-anak. Sudah pasti, ada aturan yang harus kita sepakati, termasuk penggunaan gadget dalam hal ini handphone. Sebagian pesantren mungkin melarang penggunaan handphone sama sekali. Namun sebagian lagi memperbolehkan di waktu tertentu, misal sepekan sekali. Konsekuensi melanggar aturan yang harus siap, handphone disita misalnya.
Saya pernah mengalami peristiwa serupa. Anak kedua ketahuan membawa hape ke pondok, dan hapenya disita. Saat itu baru saja ia membuka tabungannya, 700 ribu digunakan untuk menukar hape lamanya dengan hape baru. Sesaat bahagia menimang hape baru hingga ia berhasrat membawanya ke asrama. Sudah saya ingatkan, tentang larangan membawa hape, namun si anak nekat. Resiko dan konsekuensi dari tindakannya ya hapenya disita, bahkan sampai sekarang tak tentu rimbanya. Tapi itulah pelajaran yang harus ia terima.
Kembali ke masalah si anak yang menganiaya tadi. Memang benda segi empat pipih dan tak terlalu besar ini telah mengambil alih perhatian kita. Siapa yang sampai hari ini tak mengenal benda ini? Hampir tak ada kecuali orang sepuh yang sudah renta.
Aneka aplikasi dan hiburan tertanam di dalamnya sehingga dengan hitungan detik pun mengakses apapun semudah menjentikkan jari. Terlebih bermain atau game online. Sesuatu yang sangat menarik karena memberikan semua yang diinginkan anak.
Daya tarik game online
Bermain, siapa sih yang nggak suka bermain. Terlebih anak-anak, fitrah mereka menyukai permainan. Dan permainan itu saat ini dikemas dengan sangat menarik dalam sebuah aplikasi yang dibenamkan pada benda bernama gadget. Maka game terutama game online menjadi permainan yang digandrungi anak-anak. Bahkan para dewasa. Yang membuat menarik apa sih?
Tantangan dalam permainan
Sesuatu yang bersifat menantang, membuat hasrat berkobar untuk menyambut tantangan tersebut. Dan pada setiap permainan akan ada tantangan demi tantangan yang mengaktifkan hormon adrenalin. Semakin menantang semakin membuat penasaran. Game online mengemas tantangan ini menjadi semakin menarik, sehingga rasa ingin menaklukkan tantangan semakin membara.
Apresiasi
Gimana rasanya ketika mendapatkan apresiasi dari sebuah capaian. Bahagia dan bangga. Semua orang suka diapresiasi, anak pun demikian.
Setiap anak membutuhkan apresiasi. Para penyedia game tahu banget hal ini. Maka ketika pemain mampu menyelesaikan tantangan, ada apresiasi atau reward yang membuat anak-anak merasa dihargai dan bahagia.
Sesuatu yang barangkali jarang mereka dapat dari orang-orang di sekitarnya bahkan orangtua sendiri. Dihargai dan diapresiasi, kedua hal tersebut tak jarang dilupakan oleh orangtua, guru atau pihak yang berkompeten dengan pendidikan anak-anak. Akibatnya ya mereka semakin asyik dengan game bahkan kecanduan main game online.
Terlebih iming-iming menjadi atlet e-sport dengan imbalan yang cukup tinggi untuk pro player sangat menggiurkan bagi anak-anak. Tak ayal, sebagian anak bercita-cita menjadi gamers.
Tak ada yang salah, ketika alur dan prosesnya benar serta mendapatkan mengarahkan dari para ekspert atau pihak yang berkompeten. Akan menjadi masalah ketika tidak mendapat pengawalan, pembinaan dan pengawasan, yang ada hanya kecanduan tanpa ada prestasi yang berarti.
Yang namanya candu, pasti bukan sesuatu yang baik atau sehat. Efek negatifnya ketika tidak diantisipasi akan menjadi masalah, kasus di atas salah satunya. Juga efek lainnya seperti pertumbuhan fisik dan spikisnya juga skill sosialnya.
Larangan membawa hape, pembatasan durasi bermain hape akan menjadi sesuatu yang sangat menyiksa sehingga apapun yang terkait dengan pembatasan akan membuat anak murka. Tak jarang malah berbuat nekat. Tetangga depan rumah saya pernah mengalami masalah ini, ketika anak dibatasi main hape, si anak marah dan kabur dari rumah.
Bagaimana seharusnya orangtua bersikap?
Bermain juga memunculkan energi yang tak pernah habis, terutama pada anak. Makanya berjam-jam pun ia betah. Bermain tak ada yang main-main, bermain itu sungguhan.
Bagaimana dengan kekhawatiran kita sebagai orangtua?
Tahan diri, sabar dan jangan marah.
Marah pada anak yang lebih suka main game online adalah kesia-siaan. Lha gimana, wong game online itu menarik kok. Sesuatu yang menarik hanya bisa diimbangi dengan hal yang lebih menarik, bukan dimarahi atau dilarang. Jangan jadi lawan tapi jadilah kawan.
Temani anak bermain, cari tahu apa sih yang membuat menarik dari permainan itu? Apa saja game favorit anak, gimana cara mainnya? Saya pernah diajak main mobile legends sama anak meski kalah mulu.
Ajak ngobrol anak
Kadang kala kita hanya main larang saja atau marah saja tanpa tahu gimana perasaan anak, pandangan dari sisi si anak. Bukanlah anak juga makhluk yang sama dengan kita. Maka tempatkan ada sejajar. Ajak diskusi, banyakin ngobrol, gali informasi dan buat kesepakatan.
Kata mas Elan jm, anak dari founder Ibu Profesional yang dulunya pernah kecanduan game, ibu-ibu itu harus banyakin ngobrol dengan anak bukan ngobrolin anak. Ya nggak sih? Kita bahkan lebih sering ngobrolin anak di mana-mana.
Tak jarang kita panik, anak-anak nggak boleh main game ini karena bahayanya bla… bla… bla, yang kita tahu dari membaca ulasan, berita atau hasil seminar parenting. Sementara kita abaikan pendapat anak. Ajak anak diskusi dan menemukan apa baik buruknya suatu permainan. Kelemahan atau kelebihan dan ajaklah mengenali efeknya ke diri mereka.
Larangan bermain game tertentu akan keluar dari mereka (inside out) setelah tahu baik dan buruknya secara detail. Maka anak akan belajar meletakkan pondasi yang kuat pada diri mereka sendiri sehingga menjadi anak yang tidak mudah terpengaruh.
Ketika terlihat tanda-tanda mulai kecanduan maka segera cari aktivitas yang lain. Misalnya dengan board game atau permainan edukasi yang menarik.
Muara dari semua itu adalah adanya kelekatan yang erat antara anak dan orangtua. Buat berbagai aktivitas yang melibatkan anak, persempit ruang anak-anak gabut atau tak ada yang dikerjakan.
Bayangin jika orangtua sibuk sendiri, anak-anak pun pasti mencari kesibukan sendiri. Saat ditanya, gimana cara orangtua mas Elan menyembuhkan dari kecanduan game? Bapak Ibu membawa saya jalan-jalan keliling kota. Bahkan di awal-awal tiap hari diajak keliling. Ya keliling kota aja agar banyak waktu bareng orangtua.
Kata mas Elan jm, anak dari founder Ibu Profesional yang dulunya pernah kecanduan game, ibu-ibu itu harus banyakin ngobrol dengan anak bukan ngobrolin anak. Ya nggak sih? Kita bahkan lebih sering ngobrolin anak di mana-mana.
Beri peran pada anak untuk berpikir sendiri
Tak jarang kita panik, anak-anak nggak boleh main game ini karena bahayanya bla… bla… bla, yang kita tahu dari membaca ulasan, berita atau hasil seminar parenting. Sementara kita abaikan pendapat anak. Ajak anak diskusi dan menemukan apa baik buruknya suatu permainan. Kelemahan atau kelebihan dan ajaklah mengenali efeknya ke diri mereka.
Larangan bermain game tertentu akan keluar dari mereka (inside out) setelah tahu baik dan buruknya secara detail. Maka anak akan belajar meletakkan pondasi yang kuat pada diri mereka sendiri sehingga menjadi anak yang tidak mudah terpengaruh.
Alihkan dengan aktivitas lain
Ketika terlihat tanda-tanda mulai kecanduan maka segera cari aktivitas yang lain. Misalnya dengan board game atau permainan edukasi yang menarik.
Bangun bonding yang kuat
Muara dari semua itu adalah adanya kelekatan yang erat antara anak dan orangtua. Buat berbagai aktivitas yang melibatkan anak, persempit ruang anak-anak gabut atau tak ada yang dikerjakan.
Bayangin jika orangtua sibuk sendiri, anak-anak pun pasti mencari kesibukan sendiri. Saat ditanya, gimana cara orangtua mas Elan menyembuhkan dari kecanduan game? Bapak Ibu membawa saya jalan-jalan keliling kota. Bahkan di awal-awal tiap hari diajak keliling. Ya keliling kota aja agar banyak waktu bareng orangtua.
Kesimpulan
Menggunakan gadget, bermain game online bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan ketika kita sebagai orangtua hadir bersama anak. Anak-anak nge-game online yes or no? Yes, dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
Posting Komentar
Posting Komentar