Rasanya seperti mimpi mempunyai 3 orang anak penghafal Al Qur’an 30 juz mutqin, serta dua lagi yang sedang proses menyelesaikan hafalannya meski cita-cita itu telah tersemat sejak awal membangun rumah tangga. Dan dengan cita-cita itu kami mulai menanamkan benih menghafal Al Qur’an pada anak-anak meski kami tak pernah tahu kapan benih itu akan bersemi. Tugas sebagai orang tua hanya menyemaikan, tumbuh dan berkembangnya Allah yang menentukan.
Sejak kapan benih itu ditanam? Tentu saja sejak ruh hendak ditiupkan kedalam jiwa anak-anak dengan cara memperbanyak tilawah, mengkaji dan memahami Al Qur’an. Menjadi pribadi yang mencintai Al Qur’an dan mengajak anak-anak mencintai Al Qur’an dengan menjadikan Rasulullah sebagai dan para sahabat serta orang-orang sholeh sebagai teladan dalam interaksinya dengan Al Qur’an.
Generasi Qur’an yang Unik
Sungguh inspirasi terbesar adalah Rasullulah dan para sahabat generasil awwalun dalam interasksinya dengan Al Qur’an. Mereka sangat menikmati Firman Allah itu hingga sering mereka tak terburu-buru membaca dan mengkhatamkannya. Huruf demi huruf, ayat demi ayat yang dibaca serasa berdialog langsung dengan Allah, bahagia ketika ada khabar gembira dan menangis ketika ada ayat-ayat ancaman.
Suatu hari Rasulullah SAW meminta dibacakan Al Qur’an kepada Ibnu Mas’ud RA, “Bacalah Al Qur’an dihadapanku!” Ibnu Mas’ud menjawab,” Wahai Rasulullah, bagaimana aku membacakan Al Qur’an di hadapanmu, padahal Al Qur’an diturunkan kepadamu?”
Rasulullah berkata,” Aku ingin mendengar Al Qur’an dari orang lain. “ Lalu Ibnu Mas’ud membacakan surah An Nisa dari awal sampai pada ayat yang berbunyi “ Dan bagaimanakah keadaan (orang-orang kafir nanti) jika Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan Engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka “( QS. An-Nisa :41).
“Cukup!” Rasul pun menghentikan Ibnu Mas’ud sambil menenteskan air mata. (HR. Bukhari)
Sahabat ada yang setahun lebih baru mengkatamkan bacaannya, bukan karena terbata baca Al Qur’an tapi begitu menikmati Al Qur’an sampai tidak ingin terburu-buru dalam tilawahnya. Tah heran pertolongan Allah begitu dekatnya sehingga gererasi awal ini menjadi generasi Al Qur’an karena Al Qur’an menjadi sumber utama, referensi dalam setiap perbuatan.
Menanamkan Benih Menghafal Al Qur’an
Jika yang terbayang sebuah keluarga yang sejak anak-anak balita sudah terdengar melantunkan ayat-ayat Al Qur’an sehingga ketika usia mereka remaja sudah pada hafizh Qur’an, maka tidak dengan keluarga kami. Jangan bayangkan balita-balita kami melantunkan hafalan surah An Naba, minimal surah – surah terakhir Juz Amma, atau jemari mereka yang pintar menulis Iqra. Tidak, anak-anak kami selayaknya anak-anak balita lainnya, bermain. Mereka baru mengenal huruf hijaiyah ketika usia 5 tahun ke atas, karena kami ingin mereka berpuas dengan masa kanaknya yang tanpa beban. Bahkan salah satu anak yang kini punya kemampuan menghafal tercepat dibanding saudaranya yang lain baru bisa membaca Al Qur’an dengan lancar ketika kelas 5 sekolah dasar.
Kagum dengan balita atau anak-anak kecil yang sudah hafal Qur’an, kami kagum banget tapi kami tak ingin mengegas mereka, cukup menitipkan impian bahwa anak-anak kami kelak juga akan menjadi penghafal Al Qur’an dalam doa kepada Sang Pemilik Jiwa. Namun bukan berarti tanpa ikhtiar ya, sebagai petani kami menyemai bibit-bibit itu sejak dini dengan tiga langkah besar ini.
Mengajarkan untuk tunduk pada perintah Allah dan Rasul
Sejak dini ditanamkan bahwa kita adalah hamba yang harus tunduk pada perintah Allah dan Rasulnya dengan cara memberi teladan. Misalnya sholat, sebisa mungkin sholat tepat waktu dan berjamaah bagi laki-laki, anak-anak dibawa ke masjid dan lebih sering berada di masjid. Syukur rumah kami selalu dekat dengan masjid sehingga masjid seperti rumah kedua bagi kami. Apakah selalu lancar jaya, ya tidak namanya juga anak-anak kadang rewel dan hetic gitu. Begitu juga dengan tilawah, selalu tilawah dekat dengan anak-anak.
Perkuat fondasi aqidahnya
Bangunan yang kokoh tanpa fondasi yang kuat adalah hal yang tak mungkin, perintah-perintah syar’i tak akan terlaksana tanpa landasan aqidah yang kuat, bahkan akan menjadi rutinitas tanpa makna. Aqidah yang kuat, benar dan lurus akan mengarahkan seseorang untuk melakukan amal shalih dan perbuatan yang bernilai kebaikan.
Membangun kontruksi berpikir yang Islami
Menanamkan nilai-nilai hidup yang islami sehingga anak-anak mempunyai pola pikir yang mendasari setiap gerak langkahnya dengan pemikiran islami. Tentu saja, asupannya berupa kisah para nabi juga sahabat dan orang-orang sholeh yang menginspirasi. Ada sebuah buku saku yang kecil tapi sangat berkesan pada akhirnya di kehidupan anak-anak. Entahlah, mungkin Allah mengerakkan hati dan pikiran mereka. Buku itu judulnya : 10 Anak Penghafal Al Qur’an yang mengisahkan pasangan suami istri Mutammiul Ula dan Wirianingsih yang memiliki 10 anak penghafal Al Qur’an. Buku tipis itu menjadi bacaan turun temurun dari anak paling besar sampai yang terkecil.
Menjaga adab berinterikasi dengan Al Qur’an
Cinta akan tumbuh ketika kita sering berinteraksi dengan baik, begitu juga mencintai Al Qur’an. Menanamkan benih cinta Al Qur’an pada anak dengan menjaga abad berinteraksi dengan Al Qur’an. Kami berusaha menjaga adab dengan Al Qur’an sehingga anak-anak memahami betapa berharganya Al Qur’an dalam hidup kami. Caranya :
- Istiqomah tilawah Al Qur’an setiap hari
- Manjadikan Al Qur’an sebagai wirid harian, ada beberapa surah yang menjadi wirid harian antara lain Al Mulk, Al Waqiah dan Yassin
- Memahaminya dengan berusaha mengerti artinya terlebih sekarang ada Al Qur’an terjemahan per kata
- Mengamalkannya, meski belum semua mampu diamalkan secara kontinyu tapi tetap berusaha
- Mengajarkannya, saling mengajarkan menjadi program dalam keluarga. Yang sudah bagus tahsinnya mengajar kepada adik-adiknya. Jadi anak-anak tidak ada yang ikut TPA semua belajar di rumah.
- Mendakwahkannya, tahapan tertinggi yang kami masih jauh dari ini. InsyaAllah anak-anak yang sudah selesai hafalannya dan kini sedang memperdalam kajian kitab di sebuah negara sudah bertekad akan menjadi penjaga dan pendakwah Al Qur’an.
Orangtua sebagai teladan dan inspirator
Meski kami belum mampu menghafal Al Qur’an dengan sempurna tapi sebagai orang tua harus tetepa memberi teladan dengan berusaha menghafalkan Al Qur’an semampunya. Sedikit demi sedikit sehingga anak-anak melihat contoh bahwa sebagai orangtua dengan kesibukan mencari nafkah bagi seorang ayah dan urusan domestik yang tidak ada habisnya bagi seorang ibu masih berusaha berinteraksi dengan Al Qur’an. Benih-benih kecintaan inilah yang akan tertanam pada diri anak.
Orangtua harus bisa menjadi inspirator yang memantik api semangat agar terus menyala. Kala mereka lelah, kepada orangtua mereka kembali. Kami menyediakan dua hari dalam sepekan membersamai mereka dari jauh. Setiap akhir pekan telinga, kami siapkan untuk menampung berbagai cerita dan curahan hati. Yah hari Sabtu untuk anak laki-laki dan hari Ahad untuk anak perempuan.
Penutup
Mempunyai anak penghafal Al Qur’an bukan perkara yang mustahil meski kita sebagai orangtua bukan penghafal Al Qur’an. Jangan pernah putus harapan ketika anak-anak sudah lewat aqil baliq tapi belum hafal Qur’an, karena selagi masih ada harapan dan cita-cita itu masih bisa diwujudkan. Kagum dan bangga dengan anak-anak yang sejak usia belia bahkan balita sudah pintar menghafal sih boleh saja, tapi setiap anak punya kesiapan masing-masing. Bukan semakin cepat semakin bagus tapi ketika dorongan itu tumbuh sendiri dari diri anak akan lebih mudah jalannya. Yang terpenting adalah menanamkan benih menghafal Al Qur’an, kapan panennya? Kita serahkan pada Allah dengan terus berdoa.
Posting Komentar
Posting Komentar