Kali ini dapat tantangan yang sangat menantang, menulis opini cerpen dari Gunuang Omeh karya Heru sang Amurwabhumi. Wow menulis opini hasil karya seorang cerpenis kenamaan yang juga tetuanya komunitas ODOP meski orangnya nggak tua-tua amat, bahkan masih muda banget, pasti nggak gampang. Dan begitu melihat achievementnya itu, aku langsung insecure parah, padahal belum membaca tulisannya.
Gimana nggak keder coba, penulis cerpen yang karyanya sering dimuat di media online dan beberapa kali menjuarai lomba penulisan cerpen. Belum lagi prestasi sebagai penulis Emerging Indonesia 2019 di Ubud Writers and Readers Festival. Dan begitu googling nama Heru sangat Amurwabhumi sederet tulisan tentangnya muncul di page one google search.
Cerpen dari Gunuang Omeh karya Heru sang Amurwabhumi
Membaca judul salah satu karya Heru dibawah ini membuat kening berkerut. " Dari Gunuang Omeh ke Jalan Lain di Moskow Menuju Hukuman Mati di Kediri".Yang terlintas pertama kali sebelum melanjutkan membaca adalah panjang amat judulnya. Tapi dari judul ini, rasa penasaran mulai tumbuh. Siapakah tokoh dalam cerita ini? Dan itu membuatku berhenti sejenak sambil membangun imajinasi yang agak liar. Jangan-jangan ini cerita tentang... , terlebih sebelum membaca cerpen ini aku baru saja membaca kisah pelarian Muso dari Madiun sampai akhirnya tertangkap dan ditembak mati di Ponorogo.
Menurutku, Mas Heru mampu membangun imajinasi pembaca bahkan dari membaca judulnya. Terlebih pembaca yang menyukai cerita-cerita berlatar sejarah. Dari biodata Mas Heru, ia memang ahli dalam menulis cerpen bertema sejarah terlihat dari judul -judul cerpennya yang lain meski baru kali ini aku membaca cerpennya. Namun, judul ini lebih mirip premis daripada judul cerpen, lebih enak dan eye catching kalau agak singkat. Trus sekilas juga mirip judul roman Dari Ave Maria Menuju Jalan Lain ke Roma.
Gambaran tokoh tanpa nama
Dibuka dengan gambaran awal konflik dalam cerita yaitu tertembaknya sang tokoh yang diceritakan oleh si aku, seorang tokoh yang lain. Tapi siapakah tokoh-tokoh itu? Keduanya masih misteri. Lalu alur cerita mundur sepekan ke belakang ketika tokoh aku menceritakan atau mengenalkan sang tokoh utama, seseorang yang pernah sekolah di Rijkskweekschool dan juga pernah hidup di Moskow. Tebakanku sampai di sini masih sebuah nama, Muso. Ketahuan aku kurang membaca sejarah, maafkanlah anak IPA ini.
Di paragraf selanjutnya, penulis sedikit membuka tabir si tokoh ini dengan frasa berseberangan dengan pemerintah Uni Soviet dan Joseph Stalin. Jadi bukan Muso seperti tebakanku tapi nama yang lain. Datuk demikian penulis menyebut namanya, kupikir salah satu tokoh pergerakan negara Islam. Madilog sedikit membuka tabir itu. Ini jika pembacanya penyuka sejarah, jika bukan, sampai akhir cerita bakalan nggak ketebak si tokoh ini.
Unsur - unsur dalam cerita
Selain tokoh utama yang hanya digambarkan dengan nama Datuk, tokoh aku juga masih misteri, yang jelas ia adalah seorang sersan pada kesatuan militer pemerintah. Ketidakjelasan si tokoh bisa jadi kelebihan cerita ini, plus juga kelemahan. Jika cerita fiksi sejarah, mengapa tidak dijelaskan namanya sih. Sekedar nama rekaan.
Aku akui riset penulis cukup jeli juga, terlebih penulis tinggal di dekat tempat yang menjadi setting cerita. Gambaran Gunung Wilis yang detail dan wilayah sekitar Gunung Pandan yang nggak semua orang tahu kecuali yang pernah mengenal dan tinggal di daerah itu atau yang nilai geografinya bagus. Secara Gunung Pandan itu kecil, nggak seterkenal gunung-gunung di Jawa Timur lainnya. Demikian juga setting waktunya, setahun setelah peristiwa Madiun ini digambarkan dengan apik hingga membuat pembaca sedikit terkecoh terhadap peristiwa dalam cerpen ini.
Dengan alur cerita maju mundurnya, cerpen ini cukup enak dinikmati, apalagi puncak konfliknya, serasa larut dalam suasana mencekam saat seseorang yang tak berdaya untuk melawan, digerebek dengan pasukan bersenjata. Sayangnya, akhir dari cerita ini tidak jelas, menggantung. Kemanakah si tokoh aku? Dan pertanyaan siapa aku serta kemana aku di akhir cerita sungguh menggemaskan.
Dari akhir cerita ini, sudut pandang penulis secara samar terlihat bahwa, si tokoh utama sebenarnya tidak bersalah meski pemerintah menetapkannya sebagai buronan bahkan pemberontak. Ya, Tan Malaka adalah seorang sosialis bahkan pernah menjadi bagian dari partai Komunis Indonesia di masa pemerintahan kolonial Belanda. Juga pendiri Partai Murba pada akhirnya. Berkat kegigihannya menentang penjajah Belanda, Presiden Soekarno menganugerahkan gelar pahlawan padanya.
Penutup
Overall, cerpen dari Gunuang Omeh cukup menarik, membacanya serasa dibawa kembali pada secuil sejarah yang pernah terjadi di negeri ini meski cerita ini fiksi atau bisa dibilang faksi . Jalan cerita yang tak mudah ditebak serta penokohannya yang unik, tanpa nama sehingga membuat penasaran. Pantas saja Mas Heru sang Amurwabhumi berkali-kali memenangkan lomba penulisan. Dia memang layak mendapatkannya.
Buatku, tetep cerpen yang berat ini, sulit banget bisa mengerti mesti telah membaca beberapa kali
BalasHapusAku pas baca ceritanya tentang sejarah, langsung kututup lagi, mundur hahaha
BalasHapusLumayan luar biasa sekali tugas pekan kemarin tuh, bikin baca berulang-ulang cerpennya yang sambil agak gigit jari karena diksinya luar biasa
BalasHapusUlasannya detail sekali. Terima kasih sudah beropini terhadap cerpen saya.
BalasHapus